HEADLINE: Maju Mundur Pembebasan Abu Bakar Baasyir

HEADLINE: Maju Mundur Pembebasan Abu Bakar Baasyir



Ketua Tim Pengacara Muslim, Achmad Michdan tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia mengeluhkan sikap pemerintah yang tak satu kata dalam hal pembebasan narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir.

Kabar pembebasan itu mulanya dibawa Kuasa Hukum Timses Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra. Jumat (18/1/2019) lalu, pengacara kawakan ini berkunjung ke Lapas Gunung Sindur, tempat Baasyir dipenjara.

Pesan yang disampaikannya: Jokowi menyetujui pembebasan Baasyir. Di hari yang sama dengan kedatangan Yusril ke Lapas Gunung Sindur, Presiden mengamini kabar itu dalam sebuah kesempatan di Garut.

Belakangan, Kementerian Polhukam meralat. Pemerintah masih mengkaji permintaan pembebasaan Abu Bakar Baasyir.

Menurut Amidan--sapaan akrab Achmad Michdan, pengacara pada posisi pasif. Tawaran pembebasan justru datang dari Jokowi, yang diwakili Yusril. Pembela Abu Bakar Baasyir memang pernah mengajukan permohonan pembebasan.

Abu Bakar Baasyir, sesuai aturan, sudah bisa bebas bersyarat setelah menjalani 2/3 masa tahanan pada 13 Desember 2018 lalu. Dalam sidang Kamis (16 Juni 2011), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia divonis hakim 15 tahun bersalah terlibat dalam pelatihan militer di Aceh.

"Hak pembebasan itu dari dulu, dan sudah kita urus, tapi terhambat syarat," kata Amidan. Ini merujuk penolakan Abu Bakar Baasyir menyatakan ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila.

Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 3 tahun 2018 dijabarkan syarat bebas bersyarat bagi narapidana terorisme. Pasal 84 huruf d ayat (1) berbunyi, "Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana warga negara Indonesia."

Satu syarat lagi adalah berjanji tak akan melakukan tindak pidana lagi. Abu Bakar Baasyir menolaknya lantaran selama ini tak mengakui terlibat latihan militer di Aceh.

Amidan mendapat kabar dari Yusril, Jokowi ingin menyampingkan syarat itu dengan pertimbangan kemanusiaan. Hal ini yang belakangan ditarik kembali oleh pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto.

Setelah tarik ulur ini, pengacara menunggu bagaimana tindak lanjut dari pemerintah. "Ini sebenernya bukan urusan kita, yang bebasin ini pemerintah," Amidan berujar. "Kita cuma nunggu."



Pakar Hukum Abdul Fickar Hajar menilai, Jokowi memang tak bisa gegabah memberi pembebasan kepada Abu Bakar Baasyir. Dasar hukum yang melandasi keputusan itu harus dibuat.

Bentuknya, kata Fickar, bisa berupa Perppu, Perpres atau Peraturan Menkum HAM. "Agar tidak menimbulkan kesan semaunya demi tujuan tertentu atau politik," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (22/1/2019).

Keputusan pembebasan Abu bakar Baasyir tanpa landasan kuat akan mengacaukan sistem hukum. "Meski dengan pertimbangan kemanusiaan, tetap harus ada landasannya, jika tidak Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi," papar Fickar.

Ia mengingatkan, aturan umum pembebasan bersyarat merujuk KUHP Pasal 15, 16 dan 17. Jokowi tak bisa memberi pembebasan bersyarat dengan menabrak aturan tersebut.

Fickar menggarisbawahi beberapa pasal penting, seperti Pasal 15a ayat (1) KUHP, yang menyatakan syarat umum bebas bersyarat bahwa terpidana menyatakan tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan yang tidak baik di kemudian hari. Baasyir sendiri menolak meneken pernyataan tersebut. 

Ia justru mempertanyakan pernyataan Yusril soal "bebas tanpa syarat". Praktik semacam itu cuma lazim di negara kerajaan, sebagai bentuk pengampunan dari raja.

Dalam konteks Indonesia, mekanisme yang paling mendekati skema bebas tanpa syarat, adalah amnesti. Lembaga amnesti, menurut Fickar, bisa digunakan, tanpa permintaan narapidana.

"Presiden bisa mengampuni dengan amnesti membatalkan putusan yang telah ada, dan akibat hukumnya Abu Bakar Baasyir dianggap tidak bersalah," kata Fickar.